Minggu, 27 September 2015

Ahli Waris Dzawil Al-Arham dan hajib mahjub



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Hukum warisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Bagi umat Islam melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh nas-nas adalah suatu keharusan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum waris Islam bersifat wajib. Persoalan waris sering timbul menjadi salah satu persoalan dalam sebuah keluarga. Manusia tidakjarang menjadi lupa karena masalah harta, maka berhati-hatilah dengan harta jika tidak mampu mempertanggung jawabkannya dikemudian hari.
Didalam  aturan kewarisan inilah, ahli waris seperti li’an darah dibagi menjadi tiga  golongan, yaitu: dzawil furudh, ashobah dan dzawil arham. Disini kami akan membahas mengenai Ahli Waris Dzawil Al-Arham dan Hajib-Mahjub. Untuk memberikan warisan kepada ahli waris serta penghalang dan terhalangnya dalam mendapatkan warisan.


B.            Rumusan Masalah.
1.      Apakah Ahli Waris Dzawil Al-Arham?
2.      Apakah Hajib Mahjub?













BAB II
PEMBAHASAN
1.             Ahli Waris Dzawil Al-Arham.
A.    Pengertian Dzawil Al-Arham.
Arham merupakan bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti ‘tempat pembentukan/ menyimpan janin dalam perut ibu’. Kemudian, dikembangkan menjadi ‘kerabat’, baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh ‘rahim’ itu umum digunakan dengan makna ‘kerabat’, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat islam[1].
Allah SWT. Berfirman,
يايها الناس اتقواربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجهاوبث منهما رجالا كثيرا ونساء. واتقوالله الذي تساء لون به والارحام. ان الله كان عليكم رقيبا.
Artinya:”Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya, dan Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada allah dan dengan namanya, kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (Q.S.An-Nisa:1)
Secara istilah Dzawil Arham itu mempunyai arti yang sangat luas sebagai sebutan untuk setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada seseorang oleh adanya hubungan darah[2]. Keluasan arti dzawil arham tersebut diambil dari pengertian lafadz arham yang terdapat dalam surah al-Anfal:75, yang berbunyi:
واولوالارحام بعضهم اولى ببعض فى كتب الله.
Artinya:”Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian mereka adalah lebih berhak dari pada sebagian mereka (yang lain) di dalam ketetapan Allah”.
Sedangkan secara umum, Dzawil Arham adalah mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik mereka yang termasuk ahli waris golongan ashabul-furudh, golongan ashabah maupun golongan yang lain[3].
Tetapi menurut fuqaha, dzawil arham adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam al-Qur’an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para ‘ashabah”. Maksudnya, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara ashabah. Misalnya: bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya[4].

B.     Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham.
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dwawil arham. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama, dari Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashabulfurudh atau ashabah yang mengambilnya, seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masayarakat islam pada umumnya[5].
Dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i adalah[6]:
1.      Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar’i dan qath’i dari Al-Qur’an atau Sunnah.
2.      Rasullah Saw. Ketika ditanyakan tentang hak waris bibi, baik dari garis ayah maupun dari ibu, beliau, menjawab, “Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikitpun”.
3.      Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar baik dari ashabulfurudhnya ataupun para ashabahnya lalu diserahkan ke baitul mal.
Pendapat kedua, dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa dzawil arham berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabulfurudh, ataupun ashabah yang menerima harta pewaris. Mereka mengatakan bahwa dzawil arham lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris[7].
Dasar yang digunakan mereka adalah Al-Qur’an, As-sunnah, dan Logika. Salah satu surah diantaranya berbunyi:
والذين امنوامن بعد وها جروا وجا هدوا معكم فاولئك منكم. واولوالارحام بعضهم اولى ببعض في كتب الله. ان الله بكل شيء عليم.
“Artinya:Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah. Sungguh allah maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S.Al-Anfal: 75).
C.     Pembagian Hak Waris Bagi Dzawil Arham.
Diantara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, yang terbagi menjadi tiga kelompok[8].
a)      Menurut Ahlur-Rahmi: semua kerabat berhak mendapat waris secara rata.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
b)      Menurut Ahl at-Tanzil: mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama muta’akhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
c)      Menurut Ahlul Qarabah: hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.mazhab ini telah mengelompokkan dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Keempat golongan tersebut adalah :
·         Keturunan mayit Orang tua mayit.
·         bernisbat kepada kedua orang tua.
·         mayitbernisbat kepada kakek & nenek mayit.

2.             Hajib-Mahjub.
A.    Pengertian Hajib-Mahjub
Di dalam Ilmu Faraidh dikenal istilah hajib  dan mahjub. Arti kata hajib asalnya bermakna "Penjaga Pintu"' secara istilah definisnya adalah keluarga si mati yang meghalangi atau mendinding keluarga lain yang sekerabat untuk beroleh pusaka. Sementara arti Mahjub adalah seseorang yang terhalangi menerima warisan karena adanya ahli waris yang hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan lebih kuat kedudukannya.
Dalil yang membenarkan masalah hajib dan mahjub sebagai aturan kewarisan dalam islam adalah surat An-nisa’ : 176: وَهُوَيَرِثُهَاإِنْلَمْيَكُنْلَهَاوَلَد . . . . . . .
“Artinya : Dan dia (saudara lelaki kandung atau seayah) menjadi ahli waris yang dapat warisan apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak.
Prinsip hajib-mahjub adalah mengutamakan atau mendahulukan kerabat yang mempunyai jarak lebih dekat daripada orang lain dengan si mati.
Keutamaan itu dapat pula disebabkan oleh kuatnya hubungan kekerabatan seperti saudara kandung lebih kuat hubungannya dibandingkan saudara se-ayah atau se-ibu saja, karena hubungan saudara kandung melalui dua jalur (ayah dan ibu) sedangkan yang se-ayah atau se-ibu hanya melalui satu jalur (ayah saja atau ibu saja)[9].
Dengan demikian Ahli waris menjadi pendinding bagi ahli waris lain dalam istilah ilmu muwaris disebut Hajib, sedangkan ahli waris yang terdinding disebut Mahjub. Untuk lebih jelasnya, berikut ini pembahasannya:
1.      Ahli waris yang menjadi Hajib dan tidak mungkin menjadi Mahjub
Ahli waris yang termasuk kriteria ini adalah:
a)      Ayah, menjadi hajib bagi:
Kakek (ayahnya ayah), Nenek (ibunya ayah), saudara si mati, Segala macam paman si mati, Segala macam saudara sepupu si mati.
b)      Ibu, menjadi Hajib bagi:
Nenek (ibunya ayah), Nenek (ibunya ibu).
c)      Anak laki-laki, menjadi hajib bagi:
Cucu anak laki-laki (dari anak laki-laki), Cucu perempuan (dari anak laki-laki), Segala macam saudara si mati, paman si mati, saudara sepupu si mati.
d)     Anak perempuan, menjadi hajib bagi:
Saudara seibu si mati.
2.      Ahli waris yang tidak menjadi hajib dan tidak menjadi mahjub, Ahli waris yang termasuk kriteria ini adalah[10]:
a.       Suami, bila istri mempunyai anak maka suami mendapat 1/4 dan bila istri tidak mempunyai anak maka suami mendapat 1/2 harta.
b.      Istri, bila suami mempunyai anak maka istri mendapat 1/8 dan bila suami tidak mempunyai anak mak istri mendapat 1/4 harta.
3.      Ahli waris yang menjadi hajib dan menjadi mahjub.
Berikut ini diterangkan ahli waris yang dapat menghalangi ahli waris lain dan dapat terhalang oleh ahli waris lain, sebagai berikut:
a.    Kakek, dari jurusan ayah tertutup oleh ayah, begitu seterusnya ke atas, kakek yang lebih jauh tertutup oleh kakek yang lebih dekat, sebaliknya juga kakek yang lebih jauh lagi.
Kakek dari jurusan ayah ini menjadi hajib bagi:
Saudara seibu si mati, Segala macam kemenakan si mayit, Segala macam paman si mayit, Segala  macam saudara sepupu si mati
b. Cucu laki-laki; dari jurusan laki-laki tertutup oleh anak laki-laki, begitu seterusnya ke bawah, cucu yang lebih jauh tertutup oleh cucu yang lebih dekat, sebaliknya juga menututp cucu yang lebih jauh lagi. Cucu laki-laki dari jurusan anak ini menjadi hajib bagi:
Segala macam saudar si mati, Segala macam paman si mati, Segala macam saudara sepupu si mati
c.    Nenek (ibunya ayah) terhalang oleh ayah dan ibu, sedangkan nenek (ibunya ibu) terhalang oleh ibu, begitu seterusnya ke atas, nenek yang lebih jauh tertutup oleh nenek yang lebih dekat, sebaliknya juga menutup nenek yang lebih jauh lagi.
d.   Cucu perempuan, dari jurusan anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki dan dua anak perempuan atau lebih, begitu seterusnya ke bawah, cucu yang lebih jauh tertutup oleh cucu yang lebih dekat, sebaliknya juga menutup cucu yang lebih jauh lagi.
e.    Saudara laki-laki seibu seayah; dia mahjub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, dan ayah. Saudara laki-laki seibu seayah menghalangi:
Saudara laki-laki seayah, Segala macam kemenakan si mati, Segala macam paman si mati, Segala macam saudara sepupu si mati.
f.     Saudara laki-laki seayah; dia mahjub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, saudara laki-laki seibu seayah, dan saudara perempuan seibu seayah ketika ia menjadi ahli waris ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan. Saudara laki-laki seayah menghalangi:Segala macam kemenakan si mati, Segala macam paman si mati, Segala macam saudara sepupu si mati.
g.    Saudara perempuan seibu seayah; dia mahjub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah. Saudara perempuan seibu seayah bila menjadi ahli waris ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan menghalangi:Segala macam kemenakan si mati, Segala macam paman si mati, Segala macam saudara sepupu si mati[11].
h.    Saudara perempuan seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, dan ayah, saudara laki-laki seibu seayah. Saudara perempuan seayah bila menjadi ahli waris ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan menghalangi.
i.      Kemenakan laki-laki seibu seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah , kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu seyah, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan.
j.      Kemenakan laki-laki seayah; Dia mahjuub oleh anak laki-laki cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan, serta kemenakan laki-laki seibu seayah[12].
k.    Paman seibu seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan, serta kemenakan laki-laki seibu seayah, serta kemenakan laki-laki seayah.
l.      Paman seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan, serta kemenakan laki-laki seibu seayah, serta kemenakan laki-laki seayah, dan paman seibu seayah. Paman seayah menghalangi segala macam saudara sepupu si mati.
m.  Saudara sepupu seibu seayah; dia mahjuub oleh ahli waris yang menghalangi paman seayah, ditambah terhalang pula oleh paman seayah, dan dia menghalangi saudara sepupup ayah.
n.    Saudara sepupu seayah; dia mahjuub oleh ahli waris yang menghalangi saudara sepupu seibu seayah, ditambah terhalang pula oleh saudara sepupu seibu seayah.
o.    Orang yang memerdekakan; selanjutnya orang yang memerdekakan mayit terhalang oleh setiap ahli waris laki-laki dari si mati,kecuali saudara laki-laki seibu si mati yang tidak menghalanginya.Selanjutnya orang yang memerdekakan itu menjadi ahli waris ashabah bersama-sama ahli waris perempuan si mati.


























BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan.
*      Dzawil Arham.
Secara istilah Dzawil Arham itu mempunyai arti yang sangat luas sebagai sebutan untuk setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada seseorang oleh adanya hubungan darah.
Sedangkan secara umum, Dzawil Arham adalah mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik mereka yang termasuk ahli waris golongan ashabul-furudh, golongan ashabah maupun golongan yang lain.
*      Hajib-Mahjub.
Di dalam Ilmu Faraidh dikenal istilah hajib  dan mahjub. Arti kata hajib asalnya bermakna "Penjaga Pintu"' secara istilah definisnya adalah keluarga si mati yang meghalangi atau mendinding keluarga lain yang sekerabat untuk beroleh pusaka. Sementara arti Mahjub adalah seseorang yang terhalangi menerima warisan karena adanya ahli waris yang hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan lebih kuat kedudukannya.

B.       Saran.
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan. Untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sihingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya dimasa-masa yang akan datang. Akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak banyaknya.


[1]Beni Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 181.
[2]Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Al Ma’arif, 1994), hlm. 351.
[3]Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Al Ma’arif, 1994), hlm. 351.
[4]Beni Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 182.
[5]Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 183.
[6]Soebani, Fiqh Mawaris, hlm. 184.
[7]Ibid, hlm. 185.
[8]Ibid, hlm. 189.
[9]Zakiah, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 34.

[10]Rois Mahfud, AL-Islam Pendidikan Agama Islam (Erlangga, 2011), hlm. 65.
[11]Mahfud, AL-Islam Pendidikan Agama Islam (Erlangga, 2011), hlm. 66.
[12]Beni Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar