BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Hukum warisan Islam mengatur peralihan harta dari
seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Bagi umat Islam
melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh nas-nas adalah suatu keharusan. Oleh
sebab itu, pelaksanaan hukum waris Islam bersifat wajib. Persoalan waris sering
timbul menjadi salah satu persoalan dalam sebuah keluarga. Manusia tidakjarang
menjadi lupa karena masalah harta, maka berhati-hatilah dengan harta jika tidak
mampu mempertanggung jawabkannya dikemudian hari.
Didalam aturan
kewarisan inilah, ahli waris seperti li’an darah dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: dzawil furudh, ashobah dan
dzawil arham. Disini kami akan membahas mengenai Ahli Waris Dzawil Al-Arham dan Hajib-Mahjub. Untuk memberikan warisan kepada
ahli waris serta penghalang dan terhalangnya dalam mendapatkan warisan.
B.
Rumusan
Masalah.
1.
Apakah
Ahli Waris Dzawil Al-Arham?
2.
Apakah
Hajib Mahjub?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Ahli
Waris Dzawil Al-Arham.
A.
Pengertian
Dzawil Al-Arham.
Arham
merupakan bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab
berarti ‘tempat pembentukan/ menyimpan janin dalam perut ibu’. Kemudian,
dikembangkan menjadi ‘kerabat’, baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak
ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan
asal mereka. Dengan demikian, lafazh ‘rahim’ itu umum digunakan dengan
makna ‘kerabat’, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat islam[1].
Allah
SWT. Berfirman,
يايها الناس اتقواربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها
زوجهاوبث منهما رجالا كثيرا ونساء. واتقوالله الذي تساء لون به والارحام. ان الله
كان عليكم رقيبا.
Artinya:”Wahai
sekalian manusia! Bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya,
dan Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah
kepada allah dan dengan namanya, kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
(Q.S.An-Nisa:1)
Secara istilah Dzawil Arham itu mempunyai arti yang
sangat luas sebagai sebutan untuk setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada
seseorang oleh adanya hubungan darah[2].
Keluasan arti dzawil arham tersebut diambil dari pengertian lafadz arham yang
terdapat dalam surah al-Anfal:75, yang berbunyi:
واولوالارحام بعضهم اولى ببعض فى كتب الله.
Artinya:”Orang-orang
yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian mereka adalah lebih berhak dari pada
sebagian mereka (yang lain) di dalam ketetapan Allah”.
Sedangkan secara umum, Dzawil Arham adalah mencakup
seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal,
baik mereka yang termasuk ahli waris golongan ashabul-furudh, golongan ashabah
maupun golongan yang lain[3].
Tetapi menurut fuqaha, dzawil arham adalah kerabat
pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam
al-Qur’an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para ‘ashabah”.
Maksudnya, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan
dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak
pula secara ashabah. Misalnya: bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman
(saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu
laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya[4].
B.
Pendapat
Beberapa Imam tentang Dzawil Arham.
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak
waris dwawil arham. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama, dari Imam Malik dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris.
Mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashabulfurudh atau ashabah
yang mengambilnya, seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk
disalurkan demi kepentingan masayarakat islam pada umumnya[5].
Dalil
yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i adalah[6]:
1.
Asal
pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash
syar’i dan qath’i dari Al-Qur’an atau Sunnah.
2.
Rasullah
Saw. Ketika ditanyakan tentang hak waris bibi, baik dari garis ayah maupun dari
ibu, beliau, menjawab, “Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku
bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikitpun”.
3.
Harta
peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar baik
dari ashabulfurudhnya ataupun para ashabahnya lalu diserahkan ke baitul mal.
Pendapat kedua, dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hambal berpendapat bahwa dzawil arham berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabulfurudh,
ataupun ashabah yang menerima harta pewaris. Mereka mengatakan bahwa dzawil
arham lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya sebab mereka
memiliki kekerabatan dengan pewaris[7].
Dasar
yang digunakan mereka adalah Al-Qur’an, As-sunnah, dan Logika. Salah satu surah
diantaranya berbunyi:
والذين امنوامن بعد وها جروا وجا هدوا معكم فاولئك منكم.
واولوالارحام بعضهم اولى ببعض في كتب الله. ان الله بكل شيء عليم.
“Artinya:Dan
orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu
maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat)
menurut kitab Allah. Sungguh allah maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S.Al-Anfal:
75).
C.
Pembagian
Hak Waris Bagi Dzawil Arham.
Diantara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata
cara memberikan hak waris kepada para kerabat, yang terbagi menjadi tiga
kelompok[8].
a)
Menurut
Ahlur-Rahmi: semua kerabat berhak mendapat waris secara rata.
Mazhab
ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari
ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini
dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang
masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
b)
Menurut
Ahl at-Tanzil: mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk)
ahli waris asalnya Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan
pendapat para ulama muta’akhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
c)
Menurut
Ahlul Qarabah: hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat
kekerabatan mereka kepada pewaris. Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi
Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.mazhab ini telah
mengelompokkan dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan
masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Keempat golongan
tersebut adalah :
·
Keturunan
mayit Orang tua mayit.
·
bernisbat
kepada kedua orang tua.
·
mayitbernisbat
kepada kakek & nenek mayit.
2.
Hajib-Mahjub.
A.
Pengertian
Hajib-Mahjub
Di dalam Ilmu Faraidh dikenal istilah hajib dan mahjub. Arti kata hajib asalnya bermakna
"Penjaga Pintu"' secara istilah definisnya adalah keluarga si mati
yang meghalangi atau mendinding keluarga lain yang sekerabat untuk beroleh
pusaka. Sementara arti Mahjub adalah seseorang yang terhalangi menerima warisan
karena adanya ahli waris yang hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan lebih
kuat kedudukannya.
Dalil
yang membenarkan masalah hajib dan mahjub sebagai aturan kewarisan dalam islam
adalah surat An-nisa’ : 176: وَهُوَيَرِثُهَاإِنْلَمْيَكُنْلَهَاوَلَد . . . . . . .
“Artinya
: Dan dia (saudara lelaki kandung atau seayah) menjadi ahli waris yang dapat
warisan apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak.
Prinsip hajib-mahjub adalah mengutamakan atau
mendahulukan kerabat yang mempunyai jarak lebih dekat daripada orang lain
dengan si mati.
Keutamaan itu dapat pula disebabkan oleh kuatnya hubungan
kekerabatan seperti saudara kandung lebih kuat hubungannya dibandingkan saudara
se-ayah atau se-ibu saja, karena hubungan saudara kandung melalui dua jalur
(ayah dan ibu) sedangkan yang se-ayah atau se-ibu hanya melalui satu jalur
(ayah saja atau ibu saja)[9].
Dengan demikian Ahli waris menjadi pendinding bagi ahli
waris lain dalam istilah ilmu muwaris disebut Hajib, sedangkan ahli waris yang
terdinding disebut Mahjub. Untuk lebih jelasnya, berikut ini pembahasannya:
1.
Ahli
waris yang menjadi Hajib dan tidak mungkin menjadi Mahjub
Ahli waris yang
termasuk kriteria ini adalah:
a)
Ayah,
menjadi hajib bagi:
Kakek
(ayahnya ayah), Nenek (ibunya ayah), saudara si mati, Segala macam paman si
mati, Segala macam saudara sepupu si mati.
b)
Ibu,
menjadi Hajib bagi:
Nenek
(ibunya ayah), Nenek (ibunya ibu).
c)
Anak
laki-laki, menjadi hajib bagi:
Cucu
anak laki-laki (dari anak laki-laki), Cucu perempuan (dari anak laki-laki),
Segala macam saudara si mati, paman si mati, saudara sepupu si mati.
d)
Anak
perempuan, menjadi hajib bagi:
Saudara seibu si
mati.
2.
Ahli
waris yang tidak menjadi hajib dan tidak menjadi mahjub, Ahli waris yang
termasuk kriteria ini adalah[10]:
a.
Suami,
bila istri mempunyai anak maka suami mendapat 1/4 dan bila istri tidak
mempunyai anak maka suami mendapat 1/2 harta.
b.
Istri,
bila suami mempunyai anak maka istri mendapat 1/8 dan bila suami tidak
mempunyai anak mak istri mendapat 1/4 harta.
3.
Ahli
waris yang menjadi hajib dan menjadi mahjub.
Berikut
ini diterangkan ahli waris yang dapat menghalangi ahli waris lain dan dapat terhalang
oleh ahli waris lain, sebagai berikut:
a.
Kakek,
dari jurusan ayah tertutup oleh ayah, begitu seterusnya ke atas, kakek yang
lebih jauh tertutup oleh kakek yang lebih dekat, sebaliknya juga kakek yang
lebih jauh lagi.
Kakek dari jurusan ayah ini menjadi hajib bagi:
Saudara seibu si mati, Segala macam kemenakan si mayit,
Segala macam paman si mayit, Segala
macam saudara sepupu si mati
b. Cucu laki-laki;
dari jurusan laki-laki tertutup oleh anak laki-laki, begitu seterusnya ke
bawah, cucu yang lebih jauh tertutup oleh cucu yang lebih dekat, sebaliknya
juga menututp cucu yang lebih jauh lagi. Cucu laki-laki dari jurusan anak ini
menjadi hajib bagi:
Segala macam saudar si mati, Segala macam paman si mati, Segala
macam saudara sepupu si mati
c.
Nenek
(ibunya ayah) terhalang oleh ayah dan ibu, sedangkan nenek (ibunya ibu)
terhalang oleh ibu, begitu seterusnya ke atas, nenek yang lebih jauh tertutup
oleh nenek yang lebih dekat, sebaliknya juga menutup nenek yang lebih jauh
lagi.
d.
Cucu
perempuan, dari jurusan anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki dan dua
anak perempuan atau lebih, begitu seterusnya ke bawah, cucu yang lebih jauh
tertutup oleh cucu yang lebih dekat, sebaliknya juga menutup cucu yang lebih
jauh lagi.
e.
Saudara
laki-laki seibu seayah; dia mahjub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari
anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, dan ayah. Saudara laki-laki seibu
seayah menghalangi:
Saudara
laki-laki seayah, Segala macam kemenakan si mati, Segala macam paman si mati, Segala
macam saudara sepupu si mati.
f.
Saudara
laki-laki seayah; dia mahjub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, saudara laki-laki seibu seayah, dan
saudara perempuan seibu seayah ketika ia menjadi ahli waris ashabah
bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan. Saudara laki-laki seayah
menghalangi:Segala macam kemenakan si mati, Segala macam paman si mati, Segala
macam saudara sepupu si mati.
g.
Saudara
perempuan seibu seayah; dia mahjub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari
anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah. Saudara perempuan seibu seayah
bila menjadi ahli waris ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan
menghalangi:Segala macam kemenakan si mati, Segala macam paman si mati, Segala
macam saudara sepupu si mati[11].
h.
Saudara
perempuan seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki dan seterusnya ke bawah, dan ayah, saudara laki-laki seibu seayah.
Saudara perempuan seayah bila menjadi ahli waris ashabah bersama-sama anak
perempuan atau cucu perempuan menghalangi.
i.
Kemenakan
laki-laki seibu seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki cucu laki-laki dari
anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah , kakek dari ayah dan seterusnya
ke atas, saudara laki-laki seibu seyah, saudara laki-laki seayah, saudara
perempuan seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak
perempuan atau cucu perempuan.
j.
Kemenakan
laki-laki seayah; Dia mahjuub oleh anak laki-laki cucu laki-laki dari anak
laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke atas,
saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan
seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak perempuan atau
cucu perempuan, serta kemenakan laki-laki seibu seayah[12].
k.
Paman
seibu seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke
atas, saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara
perempuan seibu seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak
perempuan atau cucu perempuan, serta kemenakan laki-laki seibu seayah, serta
kemenakan laki-laki seayah.
l.
Paman
seayah; dia mahjuub oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, saudara
laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seibu
seayah atau seayah jika menjadi ashabah bersama-sama anak perempuan atau cucu
perempuan, serta kemenakan laki-laki seibu seayah, serta kemenakan laki-laki
seayah, dan paman seibu seayah. Paman seayah menghalangi segala macam saudara
sepupu si mati.
m. Saudara sepupu seibu seayah; dia mahjuub oleh ahli waris
yang menghalangi paman seayah, ditambah terhalang pula oleh paman seayah, dan
dia menghalangi saudara sepupup ayah.
n.
Saudara
sepupu seayah; dia mahjuub oleh ahli waris yang menghalangi saudara sepupu
seibu seayah, ditambah terhalang pula oleh saudara sepupu seibu seayah.
o.
Orang
yang memerdekakan; selanjutnya orang yang memerdekakan mayit terhalang oleh
setiap ahli waris laki-laki dari si mati,kecuali saudara laki-laki seibu si mati
yang tidak menghalanginya.Selanjutnya orang yang memerdekakan itu menjadi ahli
waris ashabah bersama-sama ahli waris perempuan si mati.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Secara istilah Dzawil Arham itu mempunyai arti yang
sangat luas sebagai sebutan untuk setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada
seseorang oleh adanya hubungan darah.
Sedangkan secara umum, Dzawil Arham adalah mencakup
seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal,
baik mereka yang termasuk ahli waris golongan ashabul-furudh, golongan ashabah
maupun golongan yang lain.
Di dalam Ilmu Faraidh dikenal istilah hajib dan mahjub. Arti kata hajib asalnya bermakna
"Penjaga Pintu"' secara istilah definisnya adalah keluarga si mati
yang meghalangi atau mendinding keluarga lain yang sekerabat untuk beroleh
pusaka. Sementara arti Mahjub adalah seseorang yang terhalangi menerima warisan
karena adanya ahli waris yang hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan lebih
kuat kedudukannya.
B.
Saran.
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa
syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti
telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun
dari saudara selalu kami nantikan. Untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam
setiap langkah sihingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya
dimasa-masa yang akan datang. Akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak
banyaknya.
[1]Beni Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV
Pustaka Setia, 2012), hlm. 181.
[2]Fatchur Rahman, Ilmu Waris
(Bandung:PT Al Ma’arif, 1994), hlm. 351.
[3]Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Al
Ma’arif, 1994), hlm. 351.
[4]Beni Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV
Pustaka Setia, 2012), hlm. 182.
[5]Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV
Pustaka Setia, 2012), hlm. 183.
[6]Soebani, Fiqh Mawaris, hlm. 184.
[9]Zakiah, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 34.
[10]Rois Mahfud, AL-Islam Pendidikan Agama
Islam (Erlangga, 2011), hlm. 65.
[11]Mahfud, AL-Islam Pendidikan Agama Islam
(Erlangga, 2011), hlm. 66.
[12]Beni Ahmad Soebani, Fiqh Mawaris (Bandung:CV
Pustaka Setia, 2012), hlm. 195.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar