Minggu, 27 September 2015

PENBENTUKAN PENDIDIKAN KARAKTER MORAL SPIRITUAL SISWA



PENBENTUKAN PENDIDIKAN KARAKTER MORAL SPIRITUAL SISWA


RUMMANAH
STAIN Pamekasan
email: Rummanah412@gmail.com

Abstrak: Kondisi krisis moral spiritual siswa pascareformasi menunjukkan kompetensi moral dan kompetensi spiritual yang diproses melalui bangku persekolahan belum menghasilkan keluaran pengembangan kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual siswa. Kondisi demikian diduga berawal dari tumbuhnya budaya verbalistik dari proses pembelajaran yang cenderung mengajarkan pendidikan moral dan spiritual sebatas tekstual. Fenomena dan fakta tersebut, menyebabkan banyak pihak menyimpulkan pentingnya peran pendidikan karakter secara intensif sebagai esensi pembentukan kecerdasan moral dan spiritual. Perspektif ini menempatkan moral dan spiritual sebagai aspek lingkungan utama yang menentukan karakter siswa. Oleh karena itu, kecerdasan moral serta kecerdasan spiritual harus secara sadar dipelajari dan ditumbuhkan melalui pendidikan karakter secara aplikatif. Pada tahap awal implementasi pendidikan karakter di tingkat persekolahan perlu dilakukan melalui pengkondisian moral (moral conditioning) yang kemudian berlanjut dengan latihan moral (moral training). Desain pendidikan karakter seperti ini berfungsi sebagai wahana sistemik pengembangan kecerdasan moral yang membekali peserta didik dengan kompetensi kecerdasan plus karakter.

Kata Kunci:pendidikankarakter, kecerdasan moral, karakter moral spiritual siswa.


PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan salah satu pokok pendidikan dimana ia menjadi salah satu komponin yang harus ada diantara lima komponin atau unsur-unsur pendidikan. Lima unsur itu adalah peserta didik, tenaga pendidik, sarana prasarana, kurikulum atau materri pembelajaran dan tujuan pendidikan.
Dalam menyusun sebuah kurikulum hendaknya tujuan pendidikan tidak hanya diarahkan pada kemampuan kognitif atau kecerdasan seperti kurikulum yang ada di masa lalu akan tetapi haruslah bisa mengembangkan dari segi koqnitif (kecerdasan), afektif (Moral) dan psikomotorik (keterampilan). Apabila ketiga hal ini sudah bisa diwujudkan oleh sebuah pendidikan, maka pastinya akan tercipta lulusan dan insan yang tidak hanya mempunyai intelektual akan tetapi juga mempunyai kecakapan dalam semua bidang dan yang tak kalah urgennya yaitu ia menjadi manusia yang berbudi pekerti yang baik sehingga terlahirlah anak bangsa-anak bangsa yang menjadi insan kamil.
Demi terciptanya sebuah pendidikan yang ideal dan bermutu penyusunan kurikulum sebenarnya tidak hanya dilaksanakan pada abad 20 ini, akan tetapi sudah lama sekali seperti yang di ungkapkan dalam berbagai literatur. Mulai dari kurikulum 1975 yang kemudian dilanjutkan dengan kurikulum 1984, setelah itu diteruskan dengan penggunaan kurikulum 1994 yang terkenal dengan pendekatan CBSA-nya. Setelah itu muncul kembali sebagai penyempurna kurikulum 1994 itu yang dikenal dengan kurikulum 1999 (Suplemen kurikulum sebelumnya). Perjalanan kurikulum pendidikan Indonesia tidak hanya berhenti sampai disini. Pemformatan ulang kurikulum terjadi lagi pada tahun 2004 yang menitik beratkan pada pengolahan bakat anak sesuai kompetensi masing-masing. Kurikulum ini dinamai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada kurikulum ini pemerintah mulai memberi angin segar pada peserta didik. Mengapa? Karena pada kurikulum sebelumnya yang menerapkan penekanan pada aspek kognitif saja sekarang telah bergeser pada tiga aspek yaitu Kognitif (pikiran), afektif (perasaan), dan terakhir Psikomotorik (ketrampilan). Jadi pada kurikulum ini pemerintah mulai mencoba untuk menggarap peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya melalui tiga aspek tersebut dan yang terpenting adalah sesuai dengan bakat dan kompetensi masing-masing individu.
Demikian panjangnya perjalanan kurikulum pendidikan kita yang dilihat sepintas seperti melakukan kelinci percobaan pada peserta didik. Kalau kita menilik undang-undang SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 Pasal 3, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", maka kita dapat memahami bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk insan yang beriman dan berakhlak mulia.
Apabila kita mengkaji intisari undang-undang SISDIKNAS di atas, maka tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan anak bangsa dalam pengetahuan, keterampilan ataupun moral, akan tetapi lebih dari itu ialah mendidik anak bangsa menjadi manusia yang utuh, yakni manusia yang mempunyai kemampuan intelektual, kecakapan, budi pekerti dan moral spiritual yang dalam bahasa keterkinian di istilahkan dengan Spirtual Quition (SQ). apabila penyusunan kurikulum sudah sesuai dengan semua itu, maka Negara ini akn bermartabat di mata dunia dan akan juga menghasilkan masyarakat yang religius.
PEMBAHASAN
Desain Pendidikan Karakter Berbasis Kecerdasan Moral.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “Karakter” dapat dimaknai sebagai watak, tabiat, pembawaan atau kebiasaan.[1] Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti : watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang muncul dari dirinya sendiri.  Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.[2] Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan.[3]
Persepsi mengenai karakter memang berbeda-beda, sulit untuk kita menggambarkan secara utuh, namun apabila melihat realita dalam kehidupan ini, maka karakter itu identik dengan sifat-sifat yang baik meski pada dasarnya sifat yang buruk itu juga termasuk karakter atau watak buruk. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan kejahatan, pelecehan dan pelanggaran-pelanggaran yang lain mereka dikatakan sebagai orang yang tidak berkarakter atau tidak bermoral.
Istilah karakter ini mulai mencuat kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional 20 Mei 2010 yang dicanangkan oleh presiden RI. Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh kompleksitas permasalahan seputar karakter atau moralitas anak bangsa yang telah menjadi pemikiran sekaligus keprihatinan bersama semua komponen bangsa. Krisis karakter atau moralitas ini ditandai oleh meningkatnya kejahatan tindak kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pornografi dan pornoaksi, serta pergaulan bebas atau seks bebas yang sudah menjadi masalah sosial dalam masyarakat. adapun krisis moral lainnya yang sungguh nyata terjadi ialah perilaku korup yang telah mentradisi di tengah-tengah masyarakat. selain itu krisis kepercayaan pun terjadi pada elite politik, yakni perilaku korup yang semakin mengkhawatirkan. Demoralisasi ini karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas tekstual semata dan kurang mempersiapkan siswa didik untuk menyikapi kehidupan yang kontradiktif tersebut. Permasalahan mengenai karakter ini seakan semakin komplit tatkala para pelajar sering melakukan tawuran, bolos sekolah, melakukakan kekerasan pada temannya dan hal lain yang merugikan dirinya ataupun orang lain.
Karakter seringkali dikaitkan dengan moral, sebab meski ada perbedaan kata namun dua kata ini bisa dimaknai sama. Moral dapat diartikan sebagai batin atau susila.[4] Dalam dunia pendidikan, anak didik yang miskin moral disebut juga siswa yang tidak punya karakter, sehingganya menjadi penting bagi penyelenggara pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik agar menjadi manusia yang bermoral.
Pendidikan nilai/moral yang menghasilkan karakter, didalamnya terkandung tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral(moral feeling) dan perbuatan moral(moral action)sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Ketiga komponen pada Gambar 1 dalam aplikasi pendidikan karakter harus terbangun secara terkait. Moral knowing yang meliputi: kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri, adalah hal esensial yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Namun, pendidikan karakter sebatas moral knowing tidaklah cukup. Untuk itu perlu berlanjut sampai pada moral feeling yang meliputi: kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan hati. Bahkan terus berlanjut pada tahap yang paling penting, yakni moral action. Disebut penting karena pada tahap ini motif dorongan seseorang untuk berbuat baik, tampak pada aspek kompetensi, keinginan dan kebiasaan yang ditampilkannya. Ketersusunan tiga komponen moral yang saling berhubungan secara sinergis, menjadi syarat aktualisasi pendidikan karakter dalam mengembangkan kecerdasan moral peserta didik. 
Kecerdasan moral (moral intelligence) adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah dengan keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinannya tersebut dengan sikap yang benar serta perilaku yang terhormat (Borba, 2008:4). Pendidikan karakter berbasis kecerdasan moral menjadi sesuatu yang urgen, karena kecerdasan moral terbangun dari beberapa kebajikan utama yang kelak akan membantu peserta didik dalam menyikapi dan menghadapi tantangan hidup yang penuh dengan kontradiktif. Lebih lanjut, Borba (2008:7) menguraikan tujuh kebajikan utama yang perlu dimiliki peserta didik dalam mengembangkan kecerdasan moral, yakni: empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan.

Gambar 1: Komponen Pendidikan Karakter yang Baik(Sumber Lickona, 1991)
Desain ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan karakter mengharuskan adanya tiga basis desain dalam pemrogramannya yang terbagi menjadi sebagai berikut. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampumembentuk karakter peserta didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara,  juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan peserta didik. 
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Melalui desain seperti ini, diharapkan pendidikan karakter dapat berperan dalam mengembangkan kecerdasan moral secara komprehensif dan berkelanjutan.[5]

Karakter Moral Spiritual Siswa.
Berbicara Pendidikan karakter, maka  seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia yaitu fitrah (kesucian). Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep Multiple Intelligence (MI). Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb.[6]Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient).
Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.
Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quition (SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.
Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri.
Pendidikan karakter spiritual diharapkan mampu mendekatkan insan yang menjadi peserta didik dengan penciptanya, sehingga ia menjadi manusia kaffah yaitu berilmu, bermoral, mempunyai kecakapan dan relegius. Apabila hal ini mampu diwujudkan oleh penyelenggara pendidikan maka krisis moralitas yang melanda negri ini akan terkikis dan kemudian sirna, kejahatan tak lagi bergentayangan, kehormatan dan jiwa manusia terlindungi.


PENUTUP
Pendidikan formal sebagai wahana sistemik pembangunan karakter bangsa belum memberikan luaran optimal terhadap pembentukan karakter peserta didik. Hal ini diduga karena dunia pendidikan hingga saat ini lebih cenderung mementingkan capaian kompetensi akademik ketimbang capaian kompetensi karakter. Untuk itu, usulan adanya pendidikan karakter yang teraktualisasikan secara integralistik sebagai wahana sistemik pengembangan kecerdasan moral spiritual siswa, perlu mendapat dukungan berbagai pihak dalam menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi kecerdasan plus moral spiritual. Usulan ini menuntut pendidikan formal sebagai pengemban pendidikan karakter, melakukan upaya kreatif dengan menggeser pembelajaran konvensional ke arah pembelajaran inovatif.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Supadie, Didik, dkk, Pengantar Studi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012
Fadlullah, Orientasi Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Diadit Media, 2008
Hamid, Farida, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap, Surabaya : Apollo
Majid, Abdul, Dian Andayani, Pedidikan Karakter Dalam Perspektif Islam, Bandung : Insan Cita Utama, 2010
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007
Zubaedi,  Design Pendidikan Karakter, Jakarta: Prenada Media Group, 2011






[1] Farida Hamid, KamusIlmiyahPopulerLengkap(Surabaya : Apollo), hlm. 261.
[2] Abdul Majid, Dian Andayani, PedidikanKarakterDalamPerspektif Islam (Bandung :InsanCitaUtama, 2010), hlm. 11.
[3]Zubaedi,  DesignPendidikanKarakter  (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 19.
[4] Farida Hamid, KamusIlmiyahPopulerLengkap, hlm. 398.
[5]AbuddinNata. ManajemenPendidikanMengatasiKelemahanPendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007),  hlm. 219.

[6]Fadlullah,OrientasiBaruPendidikan Islam (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar