PENBENTUKAN PENDIDIKAN KARAKTER MORAL SPIRITUAL SISWA
RUMMANAH
STAIN Pamekasan
email:
Rummanah412@gmail.com
Abstrak: Kondisi krisis
moral spiritual siswa pascareformasi menunjukkan kompetensi moral dan
kompetensi spiritual yang diproses melalui bangku persekolahan belum
menghasilkan keluaran pengembangan kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual
siswa. Kondisi demikian diduga berawal dari tumbuhnya budaya verbalistik dari
proses pembelajaran yang cenderung mengajarkan pendidikan moral dan spiritual sebatas
tekstual. Fenomena dan fakta tersebut, menyebabkan banyak pihak menyimpulkan
pentingnya peran pendidikan karakter secara intensif sebagai esensi pembentukan
kecerdasan moral dan spiritual. Perspektif ini menempatkan moral dan spiritual
sebagai aspek lingkungan utama yang menentukan karakter siswa. Oleh karena itu,
kecerdasan moral serta kecerdasan spiritual harus secara sadar dipelajari dan
ditumbuhkan melalui pendidikan karakter secara aplikatif. Pada tahap awal
implementasi pendidikan karakter di tingkat persekolahan perlu dilakukan
melalui pengkondisian moral (moral conditioning) yang kemudian berlanjut dengan
latihan moral (moral training). Desain pendidikan karakter seperti ini
berfungsi sebagai wahana sistemik pengembangan kecerdasan moral yang membekali
peserta didik dengan kompetensi kecerdasan plus karakter.
Kata Kunci:pendidikankarakter, kecerdasan moral, karakter moral
spiritual siswa.
PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan
salah satu pokok pendidikan dimana ia menjadi salah satu komponin yang harus
ada diantara lima komponin atau unsur-unsur pendidikan. Lima unsur itu adalah
peserta didik, tenaga pendidik, sarana prasarana, kurikulum atau materri
pembelajaran dan tujuan pendidikan.
Dalam menyusun
sebuah kurikulum hendaknya tujuan pendidikan tidak hanya diarahkan pada
kemampuan kognitif atau kecerdasan seperti kurikulum yang ada di masa lalu akan
tetapi haruslah bisa mengembangkan dari segi koqnitif (kecerdasan), afektif
(Moral) dan psikomotorik (keterampilan). Apabila ketiga hal ini sudah bisa diwujudkan
oleh sebuah pendidikan, maka pastinya akan tercipta lulusan dan insan yang
tidak hanya mempunyai intelektual akan tetapi juga mempunyai kecakapan dalam
semua bidang dan yang tak kalah urgennya yaitu ia menjadi manusia yang berbudi
pekerti yang baik sehingga terlahirlah anak bangsa-anak bangsa yang menjadi
insan kamil.
Demi terciptanya sebuah pendidikan yang ideal dan bermutu
penyusunan kurikulum sebenarnya tidak hanya dilaksanakan pada abad 20 ini, akan
tetapi sudah lama sekali seperti yang di ungkapkan dalam berbagai literatur.
Mulai dari kurikulum 1975 yang kemudian dilanjutkan dengan kurikulum 1984,
setelah itu diteruskan dengan penggunaan kurikulum 1994 yang terkenal dengan
pendekatan CBSA-nya. Setelah itu muncul kembali sebagai penyempurna kurikulum
1994 itu yang dikenal dengan kurikulum 1999 (Suplemen kurikulum sebelumnya).
Perjalanan kurikulum pendidikan Indonesia tidak hanya berhenti sampai disini.
Pemformatan ulang kurikulum terjadi lagi pada tahun 2004 yang menitik beratkan
pada pengolahan bakat anak sesuai kompetensi masing-masing. Kurikulum ini
dinamai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada kurikulum ini
pemerintah mulai memberi angin segar pada peserta didik. Mengapa? Karena pada
kurikulum sebelumnya yang menerapkan penekanan pada aspek kognitif saja
sekarang telah bergeser pada tiga aspek yaitu Kognitif (pikiran), afektif
(perasaan), dan terakhir Psikomotorik (ketrampilan). Jadi pada kurikulum ini
pemerintah mulai mencoba untuk menggarap peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya
melalui tiga aspek tersebut dan yang terpenting adalah sesuai dengan bakat dan
kompetensi masing-masing individu.
Demikian panjangnya perjalanan kurikulum pendidikan kita
yang dilihat sepintas seperti melakukan kelinci percobaan pada peserta didik.
Kalau kita menilik undang-undang SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 Pasal 3, "Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab", maka kita dapat memahami bahwa tujuan utama pendidikan adalah
membentuk insan yang beriman dan berakhlak mulia.
Apabila kita mengkaji intisari undang-undang SISDIKNAS di
atas, maka tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan anak bangsa dalam
pengetahuan, keterampilan ataupun moral, akan tetapi lebih dari itu ialah
mendidik anak bangsa menjadi manusia yang utuh, yakni manusia yang mempunyai
kemampuan intelektual, kecakapan, budi pekerti dan moral spiritual yang dalam
bahasa keterkinian di istilahkan dengan Spirtual Quition (SQ). apabila penyusunan
kurikulum sudah sesuai dengan semua itu, maka Negara ini akn bermartabat di
mata dunia dan akan juga menghasilkan masyarakat yang religius.
PEMBAHASAN
Desain Pendidikan
Karakter Berbasis Kecerdasan Moral.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “Karakter”
dapat dimaknai sebagai watak, tabiat, pembawaan atau kebiasaan.[1]
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang
antara lain berarti : watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti,
kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai
sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang muncul
dari dirinya sendiri.
Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi
ciri khas seseorang atau sekelompok orang.[2] Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga
diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik
dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah
bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak
berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki
standar norma dan perilaku yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter
adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk
nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat
atau warga negara secara keseluruhan.[3]
Persepsi mengenai karakter memang
berbeda-beda, sulit untuk kita menggambarkan secara utuh, namun apabila melihat
realita dalam kehidupan ini, maka karakter itu identik dengan sifat-sifat yang
baik meski pada dasarnya sifat yang buruk itu juga termasuk karakter atau watak
buruk. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan kejahatan, pelecehan dan
pelanggaran-pelanggaran yang lain mereka dikatakan sebagai orang yang tidak
berkarakter atau tidak bermoral.
Istilah karakter ini mulai mencuat
kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter dijadikan sebagai gerakan
nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional 20 Mei 2010 yang dicanangkan
oleh presiden RI. Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini
dilatarbelakangi oleh kompleksitas permasalahan
seputar karakter atau moralitas anak bangsa yang telah menjadi pemikiran
sekaligus keprihatinan bersama semua komponen bangsa. Krisis karakter atau
moralitas ini ditandai oleh meningkatnya kejahatan tindak kekerasan,
penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pornografi dan pornoaksi, serta
pergaulan bebas atau seks bebas yang sudah menjadi masalah sosial dalam
masyarakat. adapun krisis moral lainnya yang sungguh nyata terjadi ialah
perilaku korup yang telah mentradisi di tengah-tengah masyarakat. selain itu
krisis kepercayaan pun terjadi pada elite politik, yakni perilaku korup yang
semakin mengkhawatirkan. Demoralisasi ini karena proses pembelajaran cenderung
mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas tekstual semata dan
kurang mempersiapkan siswa didik untuk menyikapi kehidupan yang kontradiktif
tersebut. Permasalahan mengenai karakter ini seakan semakin komplit tatkala
para pelajar sering melakukan tawuran, bolos sekolah, melakukakan kekerasan
pada temannya dan hal lain yang merugikan dirinya ataupun orang lain.
Karakter seringkali
dikaitkan dengan moral, sebab meski ada perbedaan kata namun dua kata ini bisa
dimaknai sama. Moral dapat diartikan sebagai batin atau susila.[4]
Dalam dunia pendidikan, anak didik yang miskin moral disebut juga siswa yang
tidak punya karakter, sehingganya menjadi penting bagi penyelenggara pendidikan
untuk membentuk karakter peserta didik agar menjadi manusia yang bermoral.
Pendidikan
nilai/moral yang menghasilkan karakter, didalamnya terkandung tiga komponen
karakter yang baik (components of good
character), yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan
tentang moral(moral feeling) dan perbuatan
moral(moral action)sebagaimana
terlihat pada Gambar 1.
Ketiga komponen
pada Gambar 1 dalam aplikasi pendidikan karakter harus terbangun secara
terkait. Moral knowing yang meliputi:
kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan ke depan, penalaran moral,
pengambilan keputusan dan pengetahuan diri, adalah hal esensial yang perlu
diajarkan kepada peserta didik. Namun, pendidikan karakter sebatas moral knowing tidaklah cukup. Untuk itu
perlu berlanjut sampai pada moral feeling
yang meliputi: kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan,
pengendalian diri dan kerendahan hati. Bahkan terus berlanjut pada tahap yang
paling penting, yakni moral action.
Disebut penting karena pada tahap ini motif dorongan seseorang untuk berbuat
baik, tampak pada aspek kompetensi, keinginan dan kebiasaan yang
ditampilkannya. Ketersusunan tiga komponen moral yang saling berhubungan secara
sinergis, menjadi syarat aktualisasi pendidikan karakter dalam mengembangkan
kecerdasan moral peserta didik.
Kecerdasan moral (moral
intelligence) adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah
dengan keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinannya
tersebut dengan sikap yang benar serta perilaku yang terhormat (Borba, 2008:4).
Pendidikan karakter berbasis kecerdasan moral menjadi sesuatu yang urgen,
karena kecerdasan moral terbangun dari beberapa kebajikan utama yang kelak akan
membantu peserta didik dalam menyikapi dan menghadapi tantangan hidup yang
penuh dengan kontradiktif. Lebih lanjut, Borba (2008:7) menguraikan tujuh
kebajikan utama yang perlu dimiliki peserta didik dalam mengembangkan
kecerdasan moral, yakni: empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat,
kebaikan hati, toleransi, dan keadilan.
|
Gambar 1: Komponen Pendidikan Karakter yang Baik(Sumber
Lickona, 1991)
Desain ini
menunjukkan bahwa dalam pendidikan karakter mengharuskan adanya tiga basis
desain dalam pemrogramannya yang terbagi menjadi sebagai berikut. Pertama,
desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi
guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar di dalam kelas.
Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam
konteks pembelajaran. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur
sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampumembentuk
karakter peserta didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai
tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Ketiga, desain
pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah
tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti
keluarga, masyarakat umum, dan negara,
juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter dalam konteks kehidupan peserta didik.
Pendidikan karakter
hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan
secara simultan dan sinergis. Melalui desain seperti ini, diharapkan
pendidikan karakter dapat berperan dalam mengembangkan kecerdasan moral
secara komprehensif dan berkelanjutan.[5]
Berbicara
Pendidikan karakter, maka seharusnya
berangkat dari konsep dasar manusia yaitu fitrah (kesucian). Setiap anak
dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati
dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep Multiple
Intelligence (MI). Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat
tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara
lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb.[6]Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan
kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada
asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient).
Gambaran di
atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi.
Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah
dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan
bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah
bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan
memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.
Pendayagunaan
potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan
melahirkan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quition (SQ). Dan kemampuan
mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan
kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.
Metode tazkiyah
digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk
mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa
sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan
damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa
yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah.
Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi
dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih
sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang
senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan
sia-sia (kedlaliman).
Sebenarnya
metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih
bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan
tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode
pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu
sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi
anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran
(pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu
terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang
luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama
pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri.
Pendidikan
karakter spiritual diharapkan mampu mendekatkan insan yang menjadi peserta
didik dengan penciptanya, sehingga ia menjadi manusia kaffah yaitu berilmu,
bermoral, mempunyai kecakapan dan relegius. Apabila hal ini mampu diwujudkan
oleh penyelenggara pendidikan maka krisis moralitas yang melanda negri ini
akan terkikis dan kemudian sirna, kejahatan tak lagi bergentayangan,
kehormatan dan jiwa manusia terlindungi.
PENUTUP
Pendidikan
formal sebagai wahana sistemik pembangunan karakter bangsa belum memberikan
luaran optimal terhadap pembentukan karakter peserta didik. Hal ini diduga
karena dunia pendidikan hingga saat ini lebih cenderung mementingkan capaian
kompetensi akademik ketimbang capaian kompetensi karakter. Untuk itu, usulan
adanya pendidikan karakter yang teraktualisasikan secara integralistik
sebagai wahana sistemik pengembangan kecerdasan moral spiritual siswa, perlu
mendapat dukungan berbagai pihak dalam menghasilkan peserta didik yang
memiliki kompetensi kecerdasan plus moral spiritual. Usulan ini menuntut
pendidikan formal sebagai pengemban pendidikan karakter, melakukan upaya kreatif
dengan menggeser pembelajaran konvensional ke arah pembelajaran inovatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Supadie, Didik, dkk, Pengantar
Studi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012
Fadlullah, Orientasi Baru Pendidikan
Islam, Jakarta: Diadit Media, 2008
Hamid, Farida, Kamus Ilmiyah Populer
Lengkap, Surabaya : Apollo
Majid, Abdul, Dian Andayani, Pedidikan
Karakter Dalam Perspektif Islam, Bandung : Insan Cita Utama, 2010
Nata,
Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007
Zubaedi,
Design Pendidikan Karakter, Jakarta: Prenada Media Group, 2011
|

[1] Farida Hamid, KamusIlmiyahPopulerLengkap(Surabaya
: Apollo), hlm. 261.
[2] Abdul Majid, Dian Andayani, PedidikanKarakterDalamPerspektif
Islam (Bandung :InsanCitaUtama, 2010), hlm. 11.
[3]Zubaedi, DesignPendidikanKarakter (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm.
19.
[4] Farida Hamid, KamusIlmiyahPopulerLengkap,
hlm. 398.
[5]AbuddinNata. ManajemenPendidikanMengatasiKelemahanPendidikan
Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 219.
[6]Fadlullah,OrientasiBaruPendidikan
Islam (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar